Oleh : Herlini Melianasari
Abstrak :
Suatu karakteristik tahap berpikir Van Hiele adalah bahwa
kecepatan untuk berpindah dari satu tahap ke tahap berikutnya lebih
banyak dipengaruhi oleh aktifitas dalam pembelajaran.
Dengan demikian, pengorganisasian pembelajaran, isi, dan materi
merupakan faktor penting dalam pembelajaran, selain guru juga memegang
peran penting dalam mendorong kecepatan berpikir siswa melalui suatu
tahapan. Tahap berpikir yang lebih tinggi hanya dapat dicapai melalui
latihan-latihan yang tepat bukan melalui ceramah semata. Dalam
perkembangan berpikir, van Hiele (dalam Clements dan Battista, 1992:436)
menekankan pada peran siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara
aktif. Siswa tidak akan berhasil jika hanya belajar dengan menghapal
fakta-fakta, nama-nama atau aturan-aturan, melainkan siswa harus
menentukan sendiri hubungan-hubungan saling Keterkaitan antara
konsep-konsep geometri daripada proses-proses geometri.
Pendahuluan
Di antara berbagai cabang matematika, geometri menempati posisi yang
paling memprihatinkan. Kesulitan-kesulitan siswa dalam belajar geometri
terjadi mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Kesulitan belajar
ini menyebabkan pemahaman yang kurang sempurna terhadap konsep-konsep
geometri yang pada akhirnya akan menghambat proses belajar geometri
selanjutnya.
Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina
van Hiele-Geldof sekitar tahun 1950-an telah diakui secara internasional
(Martin dalam Abdussakir, 2003:34) dan memberikan pengaruh yang kuat
dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat
adalah contoh negara yang telah merubah kurikulum geometri berdasar pada
teori van Hiele (Anne, 1999). Pada tahun 1960-an, Uni Soviet telah
melakukan perubahan kurikulum karena pengaruh teori van Hiele (Anne,
1999). Sedangkan di Amerika Serikat pengaruh teori van Hiele mulai
terasa sekitar permulaan tahun 1970-an (Burger & Shaughnessy,
1986:31 dan Crowley, 1987:1). Sejak tahun 1980-an, penelitian yang
memusatkan pada teori van Hiele terus meningkat (Gutierrez, 1991:237 dan
Anne, 1999).
Penerapan teori Van Hiele diyakini dapat mengatasi kesulitan belajar
siswa dalam geometri. Hal ini disebabkan karena teori Van Hiele lebih
menekankan pada pembelajaran yang disesuaikan dengan tahap berpikir
siswa.
Geometri menempati posisi khusus dalam kurikulum matematika karena
banyaknya konsep-konsep yang termuat di dalamnya. Dari sudut pandang
psikologi, geometri merupakan penyajian abstraksi pengalaman visual dan
spasial, misalnya bidang, pola, pengukuran dan pemetaan. Sedangkan dari
sudut pandang matematik, geometri menyediakan pendekatan-pendekatan
untuk pemecahan masalah, misalnya gambar-gambar, diagram, sistem
koordinat, vektor, dan transformasi. Geometri juga merupakan sarana
untuk mempelajari struktur matematika (Burger & Culpepper,
1993:140).
Tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya
diri mengenai kemampuan matematikanya, menjadi pemecah masalah yang
baik, dapat berkomunikasi secara matematik, dan dapat bernalar secara
matematik (Bobango, 1992:148). Sedangkan Budiarto (2000:439) menyatakan
bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah untuk mengembangkan kemampuan
berpikir logis, mengembangkan intuisi keruangan, menanamkan pengetahuan
untuk menunjang materi yang lain, dan dapat membaca serta
menginterpretasikan argumen-argumen matematik.
Tingkat kognitif menurut Van Hiele
Dua tokoh pendidikan matematika dari Belanda, yaitu Pierre Van Hiele
dan isterinya, Dian Van Hiele-Geldof, pada tahun-tahun 1957 sampai 1959
mengajukan suatu teori mengenai proses perkembangan yang dilalui siswa
dalam mempelajari geometri. Dalam teori yang mereka kemukakan, mereka
berpendapat bahwa dalam mempelajari geometri para siswa mengalami
perkembangan kemampuan berpikir melalui tahap-tahap tertentu.
Teori van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu (1) tahap-tahap tersebut
bersifat hirarki dan sekuensial, (2) kecepatan berpindah dari tahap ke
tahap berikutnya lebih bergantung pada pembelajaran, dan (3) setiap
tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri-sendiri (Anne, 1999).
Burger dan Culpepper (1993:141) juga menyatakan bahwa setiap tahap
memiliki karakteristik bahasa, simbol dan metode penyimpulan
sendiri-sendiri.
Clements & Battista (1992:426-427) menyatakan bawa teori van Hiele
mempunyai karaketristik, yaitu (1) belajar adalah proses yang tidak
kontinu, terdapat “lompatan” dalam kurva belajar seseorang, (2)
tahap-tahap tersebut bersifat terurut dan hirarki, (3) konsep yang
dipahami secara implisit pada suatu tahap akan dipahami secara eksplisit
pada tahap berikutnya, dan (4) setiap tahap mempunyai kosakata
sendiri-sendiri. Crowley (1987:4) menyatakan bahwa teori van Hiele
mempunyai sifat-sifat berikut (1) berurutan, yakni seseorang harus
melalui tahap-tahap tersebut sesuai urutannya; (2) kemajuan, yakni
keberhasilan dari tahap ke tahap lebih banyak dipengaruhi oleh isi dan
metode pembelajaran daripada oleh usia; (3) instrinsik dan ekstrinsik,
yakni obyek yang masih kurang jelas akan menjadi obyek yang jelas pada
tahap berikutnya; (4) kosakata, yakni masing-masing tahap mempunyai
kosakata dan sistem relasi sendiri; dan (5) mismacth, yakni jika
seseorang berada pada suatu tahap dan tahap pembelajaran berada pada
tahap yang berbeda. Secara khusus yakni jika guru, bahan pembelajaran,
isi, kosakata dan lainnya berada pada tahap yang lebih tinggi daripada
tahap berpikir siswa.
Tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui siswa dalam pembelajaran geometri, menurut Van Hiele adalah sebagai berikut:
Level 0. Tingkat Visualisasi
Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, siswa
memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (wholistic).
Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari
masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa
sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari
bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu bangun
bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri bangun
persegipanjang tersebut.
Level 1. Tingkat Analisis
Tingkat ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini siswa
sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari
masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah
terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan
mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu
bangun merupakan persegipanjang karena bangun itu “mempunyai empat
sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku”
Level 2. Tingkat Abstraksi
Tingkat ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional.
Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang
satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada
tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat
sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu
sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami
perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga
sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang
lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap
persegi adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki
ciri-ciri persegipanjang.
Level 3. Tingkat Deduksi Formal
Pada tingkat ini siswa sudah memahami peranan pengertian-pengertian
pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam
geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti
secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami
proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan
proses berpikir tersebut.
Level 4. Tingkat Rigor
Tingkat ini disebut juga tingkat metamatis. Pada tingkat ini, siswa
mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika
(termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang
konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa
dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri.
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu
aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri
tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah
memahami adanya geometri-geometri yang lain di
samping geometri Euclides.
Menurut Van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui
tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan
adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai
memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang
satu dengan siswa yang lain.
Selain itu, menurut Van Hiele, proses perkembangan dari tahap yang satu
ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan
biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses
belajar yang dilalui siswa.
Implementasi Teori Van Hiele Dalam Pembelajaran
Untuk meningkatkan suatu tahap berpikir ke tahap berpikir yang lebih
tinggi Van Hiele mengajukan pembelajaran yang melibatkan 5 fase
(langkah), yaitu ; informasi (information), orientasi langsung (directed
orientation), penjelasan (explication), orientasi bebas (free
orientation), dan integrasi (integration).
Fase 1 (Inkuiri/Informasi)
Dengan tanya jawab antara guru dengan siswa, disampaikan konsep-konsep
awal tentang materi yang akan dipelajari. Guru mengajukan informasi baru
dalam setiap pertanyaan yang dirancang secermat mungkin agar siswa
dapat menyatakan kaitan konsep-konsep awal dengan materi yang akan
dipelajari. Bentuk pertanyaan diarahkan pada konsep yang telah dimiliki
siswa, misalnya Apa itu garis yang sejajar? Apa itu garis yang sama
panjang?Apa itu sudut yang sehadap, sepihak, dan bersebrangan? Apa itu
segiempat? dan seterusnya.
Informasi dari tanya jawab tersebut memberikan masukan bagi guru untuk
menggali tentang perbendaharaan bahasa dan interpretasi atas
konsepsi-konsepsi awal siswa untuk memberikan materi selanjutnya,
dipihak siswa, siswa mempunyai gambaran tentang arah belajar
selanjutnya.
Fase 2 (Orientasi Berarah)
Sebagai refleksi dari fase 1, siswa meneliti materi pelajaran melalui
bahan ajar yang dirancang guru. Guru mengarahkan siswa untuk meneliti
objek-objek yang dipelajari. Kegiatan mengarahkan merupakan rangkaian
tugas singkat untuk memperoleh respon-respon khusus siswa. Misalnya,
guru meminta siswa mengamati gambar yang ditunjukkan berupa macam-macam
segiempat.
Siswa diminta mengelompokkan jenis segiempat, sesuai dengan jenisnya,
setelah itu menjiplak dan menggambarkan macam-macam segiempat dengan
berbagai ukuran yang ditentukan sendiri pada kertas dengan mengunakan
media alat tulis. Kemudian menempelkan pada buku masing-masing.
Aktivitas belajar ini bertujuan untuk memotivasi siswa agar aktif
mengeksplorasi objek-objek (sifat-sifat bangun yang dipelajari) melalui
kegiatan seperti mengukur sudut, melipat, menentukan panjang sisi untuk
menemukan hubungan sifat-sifat dari bentuk bangun-bangun tersebut. Fase
ini juga bertujuan untuk mengarahkan dan membimbing eksplorasi siswa
sehingga menemukan konsep-konsep khusus dari bangun-bangun geometri.
Fase 3 (Uraian)
Pada fase ini, siswa diberi motivasi untuk mengemukakan pengalamannya
tentang struktur bangun yang diamati dengan menggunakan bahasanya
sendiri. Sejauh mana pengalamannya bisa diungkapkan, mengekspresikan dan
merubah atau menghapus pengetahuan intuitif siswa yang tidak sesuai
dengan struktur bangun yang diamati.
Pada fase pembalajaran ini, guru membawa objek-objek (ide-ide geometri,
hubungan-hubungan, pola-pola dan sebagainya) ke tahap pemahaman melalui
diskusi antar siswa dalam menggunakan ketepatan bahasa dengan menyatakan
sifat-sifat yang dimiliki oleh bangun-bangun yang dipelajari.
Fase 4 (Orientasi Bebas)
Pada fase ini siswa dihadapkan dengan tugas-tugas yang lebih kompleks.
Siswa ditantang dengan situasi masalah kompleks. Siswa diarahkan untuk
belajar memecahkan masalah dengan cara siswa sendiri, sehingga siswa
akan semakin jelas melihat hubungan-hubungan antar sifat-sifat suatu
bangun. Jadi siswa ditantang untuk mengelaborasi sintesis dari
penggunaan konsep-konsep dan relasi-relasi yang telah dipahami
sebelumnya.
Fase pembelajaran ini bertujuan agar siswa memperoleh pengalaman
menyelesaikan masalah dan menggunakan strategi-strateginya sendiri.
Peran guru adalah memilih materi dan masalah-masalah yang sesuai untuk
mendapatkan pembelajaran yang meningkatkan perolehan berbagai
performansi siswa.
Fase 5 (Integrasi)
Pada fase ini, guru merancang pembelajaran agar siswa membuat ringkasan
tentang kegiatan yang sudah dipelajari (pengamatan-pengamatan, membuat
sintesis dari konsep-konsep dan hubungan-hubungan baru). Tujuan kegiata
belajar fase ini adalah menginterpretasikan pengetahuan dari apa yang
telah diamati dan didiskusikan. Peran guru adalah membantu
pengiterpretasian pengetahuan siswa dengan meminta siswa membuat
refleksi dan mengklarifikasi pengetahuan geometri siswa, serta
menguatkan tekanan pada penggunaan struktur matematika.
C. Pengalaman Belajar Sesuai Tahap Berpikir van Hiele
Tingkat berpikir siswa dalam belajar geometri menurut teori van Hiele
banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran. Oleh sebab itu,
perlu disediakan aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan tingkat berpikir
siswa. Siswa SMP/MTs pada umumnya sudah sampai pada tahap berpikir
deduksi informal. Hal ini sesuai dengan pendapat van de Walle (1990:270)
yang menyatakan bahwa sebagian besar siswa SMP/MTs berada pada antara
tahap 0 (visualisasi) sampai tahap 2 (deduksi informal).
Berikut ini dijelaskan aktivitas-aktivitas yang dapat digunakan untuk
tiga tahap pertama yaitu tahap 0 (visualisasi), tahap 1 (analisis), dan
tahap 2 (deduksi informal) (Crowley, 1987:7–12).
1. Aktivitas tahap 0 (visualisasi)
Pada tahap 0 (visualisasi) ini, siswa diharapkan dapat memperhatikan
bangun-bangun geometri berdasarkan penampilan fisik sebagai suatu
keseluruhan. Aktivitas untuk tahap ini sebagai berikut:
a. Memanipulasi, mewarna, melipat, dan mengkonstruk bangun-bangun
geometri.
b. Mengidentifikasi bangun atau relasi geometri dalam suatu gambar
sederhana, dalam kumpulan potongan bangun, blok-blok pola atau alat
peraga yang lain, dalam berbagai orientasi, melibatkan objek-objek fisik
lain dalam kelas, rumah, foto, tempat luar, dan dalam bangun yang lain.
c. Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas bergaris,
menggambar bangun dan mengkonstruk bangun.
d. Mendeskripsikan bangun-bangun geometri dan mengkonstruk secara verbal
menggunakan bahasa baku atau tidak baku, misalnya kubus “seperti
kotak”.
e. Mengerjakan masalah yang dapat dipecahkan dengan menyusun, mengukur
dan menghitung.
2. Aktivitas tahap 1 (analisis)
Pada tahap ini, siswa diharapkan dapat menyebutkan sifat-sifat bangun
geometri. Aktivitas pada tahap ini antara lain:
a. Mengukur, mewarna, melipat, memotong, memodelkan dan menyusun dalam
urutan tertentu untuk mengidentifikasi sifat-sifat dan hubungan geometri
lainnya.
b. Mendeskripsikan kelas suatu bangun sesuai dengan sifat-sifatnya.
c. Membandingkan bangun-bangun berdasarkan karakteristik sifat-sifatnya.
d. Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang diberikan secara verbal
atau diberikan sifat-sifatnya secara tertulis.
e. Mengidentifikasi bangun berdasarkan visual.
f. Membuat suatu aturan dan generalisasi secara empirik (berdasarkan
beberapa contoh yang dipelajari).
g. Mengidentifikasi sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mencirikan
atau mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda.
h. Menemukan sifat-sifat objek yang tidak dikenal.
i. Menemukan dan menggunakan kata-kata atau simbol-simbol yang sesuai.
j. Menyelesaikan masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk
mengetahui dan menemukan sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri atau
pendekatan berdasarkan wawasan.
3. Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)
Pada tahap ini, siswa diharapkan mampu mempelajari keterkaitan antara
sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dibentuk. Aktivitas siswa
untuk tahap ini dijelaskan sebagai berikut:
a. Mempelajari hubungan yang telah dibuat pada tahap 1, membuat inklusi,
dan membuat implikasi.
b. Mengidentifikasi sifat-sifat minimal yang menggambarkan suatu bangun.
c. Membuat dan menggunakan definisi.
d. Mengikuti argumen-argumen informal.
e. Mengajukan argumen informal.
f. Mengikuti argumen deduktif, mungkin dengan menyisipkan
langkah-langkah yang kurang.
g. Memberikan lebih dari suatu pendekatan atau penjelasan.
h. Melibatkan kerjasama dan diskusi yang mengarah pada pernyataan dan
konversi.
i. Menyelesaikan masalah yang menekankan pada pentingnya sifat-sifat
gambar dan saling keterhubungannya.
Van de Walle (1990:270) membuat deskripsi aktivitas yang lebih sederhana
dibandingkan dengan deskripsi yang dibuat Crowley. Menurut Van de Walle
aktivitas pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap pertama adalah:
1. Aktivitas tahap 0 (visualisasi)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
a. Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan untuk memanipulasi.
b. Melibatkan berbagai contoh bangun-bangun yang bervariasi dan berbeda sehingga sifat yang tidak relevan dapat diabaikan.
c. Melibatkan kegiatan memilih, mengidentifikasi dan mendeskripsikan berbagai bangun, dan
d. Menyediakan kesempatan untuk membentuk, membuat, menggambar, menyusun atau menggunting bangun.
2. Aktivitas tahap 1 (analisis)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
a. Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama model-model yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai sifat bangun.
b. Mulai lebih menfokuskan pada sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi.
c. Mengklasifikasi bangun berdasar sifat-sifatnya berdasarkan nama bangun tersebut.
d. Menggunakan pemecahan masalah yang melibatkan sifat-sifat bangun.
3. Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
a. Melanjutkan pengklasifikasian model dengan fokus pada pendefinisian
sifat, membuat daftar sifat dan mendiskusikan sifat yang perlu dan cukup
untuk kondisi suatu bangun atau konsep.
b. Memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif informal, misalnya
semua, suatu, dan jika – maka, serta mengamati validitas konversi suatu
relasi.
c. Menggunakan model dan gambar sebagai sarana untuk berpikir dan mulai
mencari generalisasi atau kontra contoh.
RUJUKAN
Anne. T.. 1999. The van Hiele Models of Geometric Thought. (Online)
Http://euler.slu.edu/teach_material/van_hiele_model_of_geometry.html,
diakses 14 Oktober 2005).
Budiarto, M.T.. 2000. Pembelajaran Geometri dan Berpikir Geometri. Dalam
prosiding Seminar Nasional Matematika “Peran Matematika Memasuki
Millenium III”. Jurusan Matematika FMIPA ITS Surabaya. Surabaya, 2
Nopember.
Clements, D.H. & Battista, M.T.. 1992. Geometry and Spatial
Reasoning. Dalam Grouws, D.A. (Ed). Handbook of Research on Mathematics
Teaching and Learning. New York: MacMillan Publishing Company.
Clements, D.H. & Battista, M.T.. 2001. Geometry and Proof. (Online)
(Http://www.terc.edu/investigation/relevant/html/Geometry.html, diakses
14 Oktober 2005).
Purnomo, A.. 1999. Penguasaan Konsep Geometri dalam Hubungannya dengan
Toeri Perkembangan Berpikir van Hiele pada Siswa Kelas II SLTP Negeri 6
Kodya Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS IKIP Malang.
Van de Walle, J.A.. 1990. Elementary School Mathematics: Teaching Developmentally.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar