A. PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan,
hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat,
tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun
Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap
(attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan
keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang
tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang
berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan
kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai
tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku
pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu
sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku
warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan
tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka
pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang
diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan
menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih
mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk
tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan
makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya
adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang
baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu
masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu,
yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh
karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di
Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur
yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka
membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni
meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian
massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota
besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat
meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah
resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya
dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan
intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya
upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal.
Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka
tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan
pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan
pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti:
pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan
pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan
pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial
tertentu dalam diri peserta didik.
Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949
pernah berkata bahwa “Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan,
keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi,
manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa
yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar
dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau
hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan
ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan
atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.
B. BENTUK-BENTUK PEMBELAJARAN TERPADU YANG BERKARAKTER
Menurut Cohen dalam Degeng (1989), terdapat tiga kemungkinan variasi
pembelajaran terpadu yang berkenaan dengan pendidikan yang dilaksanakan
dalam suasana pendidikan progresif yaitu kurikulum terpadu (integrated
curriculum), hari terpadu (integrated day), dan pembelajaran terpadu
(integrated learning). Kurikulum terpadu adalah kegiatan menata
keterpaduan berbagai materi mata pelajaran melalui suatu tema lintas
bidang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara
berbagai bidang studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada.
Hari terpadu berupa perancangan kegiatan siswa dari sesuatu kelas pada
hari tertentu untuk mempelajari atau mengerjakan berbagai kegiatan
sesuai dengan minat mereka. Sementara itu, pembelajaran terpadu menunjuk
pada kegiatan belajar yang terorganisasikan secara lebih terstruktur
yang bertolak pada tema-tema tertentu atau pelajaran tertentu sebagai
titik pusatnya (center core/center of interst).
Lebih lanjut, model-model pembelajaran inovatif dan terpadu yang
mungkin dapat diadaptasi, seperti yang ditulis oleh Trianto, 2009, dalam
bukunya yang berjudul Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivistik adalah sebagai berikut :
1. Fragmentasi
Dalam model ini, suatu disiplin yang berbeda dan terpisah dikembangkan merupakan suatu kawasan dari suatu mata pelajaran
1. Fragmentasi
Dalam model ini, suatu disiplin yang berbeda dan terpisah dikembangkan merupakan suatu kawasan dari suatu mata pelajaran
2. Koneksi
Dalam model ini, dalam setiap topik ke topik, tema ke tema, atau konsep ke konsep isi mata pelajaran dihubungkan secara tegas
Dalam model ini, dalam setiap topik ke topik, tema ke tema, atau konsep ke konsep isi mata pelajaran dihubungkan secara tegas
3. Sarang
Dalam model ini, guru mentargetkan variasi keterampilan (sosial, berpikir, dan keterampilan khusus) dari setiap mata pelajaran.
Dalam model ini, guru mentargetkan variasi keterampilan (sosial, berpikir, dan keterampilan khusus) dari setiap mata pelajaran.
4. Rangkaian/Urutan
Dalam model ini, topik atau unit pembelajaran disusun dan diurutkan selaras dengan yang lain. Ide yang sama diberikan dalam kegiatan yang sama sambil mengingatkan konsep-konsep yang berbeda.
Dalam model ini, topik atau unit pembelajaran disusun dan diurutkan selaras dengan yang lain. Ide yang sama diberikan dalam kegiatan yang sama sambil mengingatkan konsep-konsep yang berbeda.
5. Patungan
Dalam model ini, perencanaan dan pembelajaran menyatu dalam dua disiplin yang konsep/gagasannya muncul saling mengisi sebagai suatu sistem.
Dalam model ini, perencanaan dan pembelajaran menyatu dalam dua disiplin yang konsep/gagasannya muncul saling mengisi sebagai suatu sistem.
6. Jala-jala
Dalam model ini, tema/topik yang bercabang ditautkan ke dalam kurikulum. Dengan menggunakan tema itu, pembelajaran mencari konsep/gagasan yang tepat.
Dalam model ini, tema/topik yang bercabang ditautkan ke dalam kurikulum. Dengan menggunakan tema itu, pembelajaran mencari konsep/gagasan yang tepat.
7. Untaian Simpul
Dalam model ini, pendekatan metakurikuler menjalin keterampilan berpikir, sosial, intelegensi, teknik, dan keterampilan belajar melalui variasi disiplin.
Dalam model ini, pendekatan metakurikuler menjalin keterampilan berpikir, sosial, intelegensi, teknik, dan keterampilan belajar melalui variasi disiplin.
8. Integrasi
Dalam model ini, pendekatan interdisipliner memasangkan antar mata pelajaran untuk saling mengisi dalam topik dan konsep dengan beberapa tim guru dalam model integrasi riil.
Dalam model ini, pendekatan interdisipliner memasangkan antar mata pelajaran untuk saling mengisi dalam topik dan konsep dengan beberapa tim guru dalam model integrasi riil.
9. Peleburan
Dalam model ini, suatu disiplin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keahliannya, para pebelajar menjaring semua isi melalui keahlian dan meramu ke dalam pengalamannya.
Dalam model ini, suatu disiplin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keahliannya, para pebelajar menjaring semua isi melalui keahlian dan meramu ke dalam pengalamannya.
10. Jaringan
Dalam model ini, pebelajar menjaring semua pembelajaran melalui pandangan keahliannya dan membuat jaringan hubungan internal mengarah ke jaringan eksternal dari keahliannya yang berkaitan dengan lapangan.
Dalam model ini, pebelajar menjaring semua pembelajaran melalui pandangan keahliannya dan membuat jaringan hubungan internal mengarah ke jaringan eksternal dari keahliannya yang berkaitan dengan lapangan.
C. PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER PADA USIA DINI
Pendidikan karakter pada anak usia dini , dewasa ini sangat di perlukan di karenakan saat ini Bangsa Indonesia sedang mengalami krisis karakter dalam diri anak bangsa. Karakter di sini adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang , bepikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan tersebut berupa Sejumlah nilai moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, hormat pada orang lain, disiplin, mandiri, kerja keras, kreatif.
Berbagai permasalahan yang melanda bangsa belakangan ini ditengarai karena jauhnya kita dari karakter. Jati diri bangsa seolah tercabut dari akar yang sesungguhnya. Sehingga pendidikan karakter menjadi topik yang hangat di bicarakan belakangan ini. Menurut Prof Suyanto Ph.D karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pendidikan karakter pada anak usia dini , dewasa ini sangat di perlukan di karenakan saat ini Bangsa Indonesia sedang mengalami krisis karakter dalam diri anak bangsa. Karakter di sini adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang , bepikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan tersebut berupa Sejumlah nilai moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, hormat pada orang lain, disiplin, mandiri, kerja keras, kreatif.
Berbagai permasalahan yang melanda bangsa belakangan ini ditengarai karena jauhnya kita dari karakter. Jati diri bangsa seolah tercabut dari akar yang sesungguhnya. Sehingga pendidikan karakter menjadi topik yang hangat di bicarakan belakangan ini. Menurut Prof Suyanto Ph.D karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan
nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara
tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik
untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU
Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk
insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau
berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh
berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta
agama.
Pendidikan karakter di nilai sangat penting untuk di mulai pada anak
usia dini karena pendidikan karakter adalah proses pendidikan yang
ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang
memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Nilai-nilai positif
dan yang seharusnya dimiliki seseorang menurut ajaran budi pekerti yang
luhur adalah amal saleh, amanah, antisipatif, baik sangka, bekerja
keras, beradab, berani berbuat benar, berani memikul resiko,
berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertaqwa,
berinisiatif, berkemauan keras, berkepribadian, berpikiran jauh ke
depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur,
bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdas, cermat,
demokratis, dinamis, efisien, empati, gigih, hemat, ikhlas, jujur,
kesatria, komitmen, kooperatif, kosmopolitan (mendunia), kreatif, kukuh
hati, lugas, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai
karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai pendapat orang lain,
menghargai waktu, patriotik, pemaaf, pemurah, pengabdian,
berpengendalian diri, produktif, rajin, ramah, rasa indah, rasa kasih
sayang,rasa keterikatan, rasa malu, rasa memiliki, rasa percaya diri,
rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, siap
mental, sikap adil, sikap hormat, sikap nalar, sikap tertib, sopan
santun, sportif, susila, taat asas, takut bersalah, tangguh, tawakal,
tegar, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, dan sejenisnya.
Sejatinya pendidikan karakter ini memang sangat penting dimulai sejak
dini. Sebab falsafah menanam sekarang menuai hari esok adalah sebuah
proses yang harus dilakukan dalam rangka membentuk karakter anak bangsa.
Pada usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi
sebagai usia emas (golden age) terbukti sangat menentukan kemampuan
anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sekitar 50 persen variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi
ketika anak berusia empat tahun. Peningkatan 30 persen berikutnya
terjadi pada usia delapan tahun, dan 20 persen sisanya pada pertengahan
atau akhir dasawarsa kedua.
Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam
keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter
anak. Setelah keluarga, di dunia pendidikan karakter ini sudah harus
menjadi ajaran wajib sejak sekolah dasar.
Anak-anak adalah generasi yang akan menentukan nasib bangsa di
kemudian hari. Karakter anak-anak yang terbentuk sejak sekarang akan
sangat menentukan karakter bangsa di kemudian hari. Karakter anak-anak
akan terbentuk dengan baik, jika dalam proses tumbuh kembang mereka
mendapatkan cukup ruang untuk mengekspresikan diri secara leluasa.
D. PERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang kemudian diimplementasikan
menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan kurikulum
yang dirancang untuk memberikan peluang seluas-luasnya bagi sekolah dan
tenaga pendidik untuk melakukan praktik-praktik pendidikan dalam rangka
mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik, baik melalui
proses pembelajaran di kelas maupun melalui program pengembangan diri
(ekstrakurikuler). Pengembangan potensi peserta didik tersebut
dimaksudkan untuk memantapkan kesadaran diri tentang kemampuan atau life
skill terutama kemampuan personal (personal skill) yang dimilikinya.
Termasuk dalam hal ini adalah pengembangan potensi peserta didik yang
berhubungan dengan karakter dirinya.
Dalam pengembangan karakter peserta didik di sekolah, guru memiliki
posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang
bisa ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi
sumber inpirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang
guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan
kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki
tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter,
berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan
transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang
harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis,
harmonis, dan dinamis.
Ada beberapa strategi yang dapat memberikan peluang dan kesempatan
bagi guru untuk memainkan peranannya secara optimal dalam hal
pengembangan pendidikan karakter peserta didik di sekolah, sebagai
berikut :
1. Optimalisasi peran guru dalam proses pembelajaran. Guru tidak
seharusnya menempatkan diri sebagai aktor yang dilihat dan didengar
oleh peserta didik, tetapi guru seyogyanya berperan sebagai sutradara
yang mengarahkan, membimbing, memfasilitasi dalam proses pembelajaran,
sehingga peserta didik dapat melakukan dan menemukan sendiri hasil
belajarnya.
2. Integrasi materi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran.
Guru dituntut untuk perduli, mau dan mampu mengaitkan konsep-konsep
pendidikan karakter pada materi-materi pembelajaran dalam mata pelajaran
yang diampunya. Dalam hubungannya dengan ini, setiap guru dituntut
untuk terus menambah wawasan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
pendidikan karakter, yang dapat diintergrasikan dalam proses
pembelajaran.
3. Mengoptimalkan kegiatan pembiasaan diri yang berwawasan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia. Para guru (pembina program) melalui program pembiasaan diri lebih mengedepankan atau menekankan kepada kegiatan-kegiatan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia yang kontekstual, kegiatan yang menjurus pada pengembangan kemampuan afektif dan psikomotorik.
3. Mengoptimalkan kegiatan pembiasaan diri yang berwawasan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia. Para guru (pembina program) melalui program pembiasaan diri lebih mengedepankan atau menekankan kepada kegiatan-kegiatan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia yang kontekstual, kegiatan yang menjurus pada pengembangan kemampuan afektif dan psikomotorik.
4. Penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif untuk tumbuh dan
berkembangnya karakter peserta didik. Lingkungan terbukti sangat
berperan penting dalam pembentukan pribadi manusia (peserta didik), baik
lingkungan fisik maupun lingkungan spiritual. Untuk itu sekolah dan
guru perlu untuk menyiapkan fasilitas-fasilitas dan melaksanakan
berbagai jenis kegiatan yang mendukung kegiatan pengembangan pendidikan
karakter peserta didik.
5. Menjalin kerjasama dengan orang tua peserta didik dan
masyarakat dalam pengembangan pendidikan karakter. Bentuk kerjasama yang
bisa dilakukan adalah menempatkan orang tua peserta didik dan
masyarakat sebagai fasilitator dan nara sumber dalam kegiatan-kegiatan
pengembangan pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah.
6. Menjadi figur teladan bagi peserta didik. Penerimaan peserta
didik terhadap materi pembelajaran yang diberikan oleh seorang guru,
sedikit tidak akan bergantung kepada penerimaan pribadi peserta didik
tersevut terhadap pribadi seorang guru. Ini suatu hal yang sangat
manusiawi, dimana seseorang akan selalu berusaha untuk meniru, mencontoh
apa yang disenangi dari model/pigurnya tersebut. Momen seperti ini
sebenarnya merupakan kesempatan bagi seorang guru, baik secara langsung
maupun tidak langsung menanamkan nilai-nilai karakter dalam diri pribadi
peserta didik. Dalam proses pembelajaran, intergrasi nilai-nilai
karakter tidak hanya dapat diintegrasikan ke dalam subtansi atau materi
pelajaran, tetapi juga pada prosesnya
Dalam uraian di atas menggambarkan peranan guru dalam pengembangan
pendidikan karakter di sekolah yang berkedudukan sebagai katalisator
atau teladan, inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator. Dalam
berperan sebagai katalisator, maka keteladanan seorang guru merupakan
faktor mutlak dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik yang
efektif, karena kedudukannya sebagai figur atau idola yang ditiru oleh
peserta didik. Peran sebagai inspirator berarti seorang guru harus mampu
membangkitkan semangat peserta didik untuk maju mengembangkan
potensinya. Peran sebagai motivator, mengandung makna bahwa setiap guru
harus mampu membangkitkan spirit, etos kerja dan potensi yang luar biasa
pada diri peserta didik. Peran sebagai dinamisator, bermakna setiap
guru memiliki kemampuan untuk mendorong peserta didik ke arah pencapaian
tujuan dengan penuh kearifan, kesabaran, cekatan, cerdas dan menjunjung
tinggi spiritualitas. Sedangkan peran guru sebagai evaluator, berarti
setiap guru dituntut untuk mampu dan selalu mengevaluasi sikap atau
prilaku diri, dan metode pembelajaran yang dipakai dalam pengembangan
pendidikan karakter peserta didik, sehingga dapat diketahui tingkat
efektivitas, efisiensi, dan produktivitas programnya.
Dengan demikian berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
dalam konteks sistem pendidikan di sekolah untuk mengembangkan
pendidikan karakter peserta didik, guru harus diposisikan atau
memposisikan diri pada hakekat yang sebenarnya, yaitu sebagai pengajar
dan pendidik, yang berarti disamping mentransfer ilmu pengetahuan, juga
mendidik dan mengembangkan kepribadian peserta didik melalui intraksi
yang dilakukannya di kelas dan luar kelas.
Guru hendaknya diberikan hak penuh (hak mutlak) dalam melakukan
penilaian (evaluasi) proses pembelajaran, karena dalam masalah
kepribadian atau karakter peserta didik, guru merupakan pihak yang
paling mengetahui tentang kondisi dan perkembangannya.
Guru hendaknya mengembangkan sistem evaluasi yang lebih
menitikberatkan pada aspek afektif, dengan menggunakan alat dan bentuk
penilaian essay dan wawancara langsung dengan peserta didik. Aalat dan
bentuk penilaian seperti itu, lebih dapat mengukur karakteristik setiap
peserta didik, serta mampu mengukur sikap kejujuran, kemandirian,
kemampuan berkomunikasi, struktur logika, dan lain sebagainya yang
merupakan bagian dari proses pembentukan karakter positif. Ini akan
terlaksana dengan lebih baik lagi apabila didukung oleh pemerintah
selaku penentu kebijakan
Setuju dengan pendapat bahwa "Dalam pengembangan karakter peserta didik di sekolah, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa". Seperti halnya guru adalah "digugu lan ditiru" disinilah peran guru sebagai orang tua ke dua saat siswa didik menuntut ilmu di sekolah...semangat dan semoga menjadi agen of change demi perubahan yang lebih baik....:-)
BalasHapusTerima kasih,,,,semoga melalui artikel ini dpat menjdi motivasi n pengetahuan bagi teman2
BalasHapus